Punya banyak teman belum tentu membuat kita lebih
mudah dalam mengekspresikan diri kita. Walaupun rata-rata setiap manusia
memiliki alasan yang sama dalam berteman, yaitu untuk berbagi. Akan tetapi,
meskipun tujuan setiap orang nya sama, belum tentu mereka mendapatkan apa yang
mereka inginkan tersebut. Hal ini sangat bergantung dari cara setiap orang
memandang bagaimana cara berteman yang baik bagi mereka. Mungkin hal ini juga
yang pernah saya alami dari kurun waktu ke waktu, dan itu tidak menutup
kemungkinan sampai sekarang. Kenapa saya mengambil pengalaman ini sebagai topik
yang pantas untuk dibahas dalam esai ini, karena menurut saya sebuah pertemanan
sangat erat kaitannya dengan komunikasi.
sumber gambar: internet (komunikasi) |
Nah, alasan saya tersebut akan saya uraikan didalam
beberapa paragraph berikut yang berisi segenap
pengalaman dan peristiwa yang
menggambarkan hasil dari komunikasi yang pernah saya alami, tentunya didalam
pertemanan saya dalam beberapa waktu kebelakang.
Pertama, saya ingin menceritakan pengalaman
komunikasi saya, yang kalau saya nilai ini adalah komunikasi terbaik yang
pernah saya lakukan di dalam masanya. Karena ini termasuk komunikasi yang
berhasil. Kira-kira waktu itu saya masih berada di lingkungan Sekolah Dasar
(SD). Dimana, SD adalah awal dari saya lebih banyak mengenal jenis teman dan
selalu punya keinginan untuk mumpunyai teman lebih banyak lagi. Jelas saja hal
yang paling menyenangkan bagi saya saat itu adalah punya teman baru.
Pernah waktu itu disekolah saya sedang diadakan
sebuah acara. Acara tersebut semacam perlombaan tingkat kecamatan dan tentunya
banyak perwakilan dari sekolah lain yang datang. Disanalah saya mendapatkan
beberapa orang teman baru lagi. Kebetulan waktu itu saya juga ikut menjadi
peserta lomba tersebut. Jadi, saya lebih mudah berkenalan dan mendapat teman
baru apalagi kami para peserta lomba ditempatkan disebuah ruang yang sama untuk
tujuan mendapatkan arahan dari pelaksana acara dan juga sekalian untuk
bersosialisasi dengan peserta lain.
Saat itu saya mendapatkan teman baru, namanya Lira.
Dia berasal dari sebuah sekolah dasar yang masih dalam satu kecamatan dengan
sekolah saya, tetapi berbeda nagari. Awal perkenalan kita adalah dari meminjam
penghapus. Saat itu Lira duduk disamping saya, dia menoleh ke arah saya dan
tersenyum. Saya balik tersenyum kepadanya. Kemudian Lira mencoba berbicara
kepada saya. Saat itu dia meminjam penghapus punya saya, karena penghapusnya
hilang katanya. Saya pun meminjamkan penghapus kepada Lira. Setelah itu kita
mulai berkenalan dan saling bertanya satu sama lain. Ternyata Lira adalah teman
yang baik dan senang untuk diajak bicara. Hanya saja, ada satu hal yang membuat
saya dan dia kurang nyaman dalam pertemanan baru tersebut. Yaitu nya bahasa dan
logat yang kita gunakan. Walaupun masih sama-sama menggunakan bahasa minang,
logat dan intonasi dari kedua daerah yang kita tempati memang berbeda. Selain
itu ada beberapa kata yang saya tidak mengerti dari bahasa yang digunakan Lira.
Mungkin karena kami masih sama-sama kecil, dan belum fasih berbahasa Indonesia,
kami pun tetap berbicara dengan gaya masing-masing. Hingga akhirnya, dalam
setiap perkataan paling sering saya ataupun Lira kembali bertanya dengan
menggunakan kata “apo” yang dalam bahasa Indonesianya apa, untuk menanyakan
tentang/sesuatu yang tidak kita mengerti. Hingga akhirnya komunikasi yang kami lakukan
ssmenjadi kurang efektif. Terkadang hal yang sebenarnya tidak dimengerti,
terpaksa dianggap mengerti. Selama kami masih bisa tertawa dan berteman. Jadi, berhasil
atau tidaknya sebuah komunikasi adalah tergantung dari bagaimana komunikator
dan komunikan bisa saling mengerti satu sama lain. Meskipun tidak dipungkiri
bahwa latar belakang budaya memang sering menjadi penentu efektif atau tidaknya
suatu komunikasi. Bahkan ada prinsip komunikasi yang mengatakan bahwa semakin
sama latar belakang sosial budaya seseorang semakin efektif lah komunikasi yang
mereka lakukan. Tetapi itu tidak terlalu berpengaruh terhadap pertemanan saya
dengan Lira, selama kami masih bisa mencoba untuk mengerti satu sama lain.
Dengan tidak mempersoalkan masalah social budaya tersebut, kami masih tetap
bisa berkomunikasi dan berteman.
Selain itu, komunikasi yang dapat dikatakan berhasil
bukan saja yang berarti seseorang harus suka dan menyetujui sikap yang
ditunjukkan oleh pelaku komunikasinya. Sekalipun seorang komunikan mengatakan tidak suka dengan
sikap yang ditunjukkan oleh komunikator, itu bisa saja dikategorikan dengan
komunikasi yang berhasil, karena memang sebenarnya stimulus yang diberikan oleh
komunikator berupa hal yang negatif. Misalnya saja, seorang komunikator
terkentut sembarangan didepan seorang komunikan, wajar bila komunikan tersebut
memarahi sang komunikator karena memang sikap yang ditunjukkan komunikator
tersebut salah.
Oleh karena itu sebuah komunikasi baru dikatakan
berhasil jika stimulus yang diberikan oleh komunikator diterima oleh komunikan
dan terjadi umpan balik (feedback) dari komunikan tersebut kepada komunikator.
Seperti pengalaman saya diatas tadi, tentang pertemanan saya dengan Lira.
Jadi, begitulah komunikasi, sekalipun stimulus yang
diberikan oleh komunikator adalah stimulus yang bernilai positif atau baik.
Jika tidak ada respon dari komunikan, komunikasi ini tetap saja dikatakan
gagal. Karena berhasil atau gagalnya sebuah komunikasi adalah tergantung kepada
bagaimana seorang komunikator menyampaikan pesannya kepada komunikan dan
bagaimana efek/respon yang diberikan oleh komunikator tersebut dapat diterima
oleh komunikan. Jika telah terjadi umpan balik. Berarti diantara keduanya telah
terjadi komunikasi. Meskipun nilai dalam komunikasi tersebut baik atau buruk. (Vivi Afri Oviani)
0 komentar:
Posting Komentar