Terima Kasih Telah Mengunjungi Blog PLTP ANTARA

2 Feb 2015

Komunikasi didalam Pertemanan

Punya banyak teman belum tentu membuat kita lebih mudah dalam mengekspresikan diri kita. Walaupun rata-rata setiap manusia memiliki alasan yang sama dalam berteman, yaitu untuk berbagi. Akan tetapi, meskipun tujuan setiap orang nya sama, belum tentu mereka mendapatkan apa yang mereka inginkan tersebut. Hal ini sangat bergantung dari cara setiap orang memandang bagaimana cara berteman yang baik bagi mereka. Mungkin hal ini juga yang pernah saya alami dari kurun waktu ke waktu, dan itu tidak menutup kemungkinan sampai sekarang. Kenapa saya mengambil pengalaman ini sebagai topik yang pantas untuk dibahas dalam esai ini, karena menurut saya sebuah pertemanan sangat erat kaitannya dengan komunikasi.
sumber gambar: internet (komunikasi)
Nah, alasan saya tersebut akan saya uraikan didalam beberapa paragraph berikut yang berisi segenap
pengalaman dan peristiwa yang menggambarkan hasil dari komunikasi yang pernah saya alami, tentunya didalam pertemanan saya dalam beberapa waktu kebelakang.
Pertama, saya ingin menceritakan pengalaman komunikasi saya, yang kalau saya nilai ini adalah komunikasi terbaik yang pernah saya lakukan di dalam masanya. Karena ini termasuk komunikasi yang berhasil. Kira-kira waktu itu saya masih berada di lingkungan Sekolah Dasar (SD). Dimana, SD adalah awal dari saya lebih banyak mengenal jenis teman dan selalu punya keinginan untuk mumpunyai teman lebih banyak lagi. Jelas saja hal yang paling menyenangkan bagi saya saat itu adalah punya teman baru.
Pernah waktu itu disekolah saya sedang diadakan sebuah acara. Acara tersebut semacam perlombaan tingkat kecamatan dan tentunya banyak perwakilan dari sekolah lain yang datang. Disanalah saya mendapatkan beberapa orang teman baru lagi. Kebetulan waktu itu saya juga ikut menjadi peserta lomba tersebut. Jadi, saya lebih mudah berkenalan dan mendapat teman baru apalagi kami para peserta lomba ditempatkan disebuah ruang yang sama untuk tujuan mendapatkan arahan dari pelaksana acara dan juga sekalian untuk bersosialisasi dengan peserta lain.
Saat itu saya mendapatkan teman baru, namanya Lira. Dia berasal dari sebuah sekolah dasar yang masih dalam satu kecamatan dengan sekolah saya, tetapi berbeda nagari. Awal perkenalan kita adalah dari meminjam penghapus. Saat itu Lira duduk disamping saya, dia menoleh ke arah saya dan tersenyum. Saya balik tersenyum kepadanya. Kemudian Lira mencoba berbicara kepada saya. Saat itu dia meminjam penghapus punya saya, karena penghapusnya hilang katanya. Saya pun meminjamkan penghapus kepada Lira. Setelah itu kita mulai berkenalan dan saling bertanya satu sama lain. Ternyata Lira adalah teman yang baik dan senang untuk diajak bicara. Hanya saja, ada satu hal yang membuat saya dan dia kurang nyaman dalam pertemanan baru tersebut. Yaitu nya bahasa dan logat yang kita gunakan. Walaupun masih sama-sama menggunakan bahasa minang, logat dan intonasi dari kedua daerah yang kita tempati memang berbeda. Selain itu ada beberapa kata yang saya tidak mengerti dari bahasa yang digunakan Lira. Mungkin karena kami masih sama-sama kecil, dan belum fasih berbahasa Indonesia, kami pun tetap berbicara dengan gaya masing-masing. Hingga akhirnya, dalam setiap perkataan paling sering saya ataupun Lira kembali bertanya dengan menggunakan kata “apo” yang dalam bahasa Indonesianya apa, untuk menanyakan tentang/sesuatu yang tidak kita mengerti. Hingga akhirnya komunikasi yang kami lakukan ssmenjadi kurang efektif. Terkadang hal yang sebenarnya tidak dimengerti, terpaksa dianggap mengerti. Selama kami masih bisa tertawa dan berteman. Jadi, berhasil atau tidaknya sebuah komunikasi adalah tergantung dari bagaimana komunikator dan komunikan bisa saling mengerti satu sama lain. Meskipun tidak dipungkiri bahwa latar belakang budaya memang sering menjadi penentu efektif atau tidaknya suatu komunikasi. Bahkan ada prinsip komunikasi yang mengatakan bahwa semakin sama latar belakang sosial budaya seseorang semakin efektif lah komunikasi yang mereka lakukan. Tetapi itu tidak terlalu berpengaruh terhadap pertemanan saya dengan Lira, selama kami masih bisa mencoba untuk mengerti satu sama lain. Dengan tidak mempersoalkan masalah social budaya tersebut, kami masih tetap bisa berkomunikasi dan berteman.
Selain itu, komunikasi yang dapat dikatakan berhasil bukan saja yang berarti seseorang harus suka dan menyetujui sikap yang ditunjukkan oleh pelaku komunikasinya. Sekalipun  seorang komunikan mengatakan tidak suka dengan sikap yang ditunjukkan oleh komunikator, itu bisa saja dikategorikan dengan komunikasi yang berhasil, karena memang sebenarnya stimulus yang diberikan oleh komunikator berupa hal yang negatif. Misalnya saja, seorang komunikator terkentut sembarangan didepan seorang komunikan, wajar bila komunikan tersebut memarahi sang komunikator karena memang sikap yang ditunjukkan komunikator tersebut salah.
Oleh karena itu sebuah komunikasi baru dikatakan berhasil jika stimulus yang diberikan oleh komunikator diterima oleh komunikan dan terjadi umpan balik (feedback) dari komunikan tersebut kepada komunikator. Seperti pengalaman saya diatas tadi, tentang pertemanan saya dengan Lira.

Jadi, begitulah komunikasi, sekalipun stimulus yang diberikan oleh komunikator adalah stimulus yang bernilai positif atau baik. Jika tidak ada respon dari komunikan, komunikasi ini tetap saja dikatakan gagal. Karena berhasil atau gagalnya sebuah komunikasi adalah tergantung kepada bagaimana seorang komunikator menyampaikan pesannya kepada komunikan dan bagaimana efek/respon yang diberikan oleh komunikator tersebut dapat diterima oleh komunikan. Jika telah terjadi umpan balik. Berarti diantara keduanya telah terjadi komunikasi. Meskipun nilai dalam komunikasi tersebut baik atau buruk. (Vivi Afri Oviani)

0 komentar:

Posting Komentar